Senin, 28 Mei 2018

Resume Kuliah Tamu

KULIAH TAMU
OLEH KASAN MUHRI
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan

Angan sebagai sektor penggerak pertumbuhan dan daya saing ekonomi, serta penciptaan kemakmuran rakyat. Perdagangan bebas diatur oleh kesepakatan bersama antar negara yan g menjalin kerjasama. Salah satu isu yang diangkat dalam hubungan internasional adalah hambatan non tarif pada sistem perdagangan internasional. Melihat hal demikian, sangat miris jika melihat komoditas buah salak dan manggis yang hingga saat ini belum dapat menembus pasar China. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran akan populasi lalat buah.

Meninjau sistem ekspor dan impor yang dilakukan Indonesia, hingga saat ini Indonesia masih belum dapat mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki. Memang ebnar kuantiatas produk yang diimpor dalam skala yang tidak kecil, namun merupakan produk primer, dengan kata lain tidak diolah terlebih dahulu. Hal ini dapat dikatakan bahwa Indonesia hanya menjual produk mentah hasil alam, tanpa memasukkan unsur skill ke dalamnya.
Hasil kesepakatan negara-negara yang menjalin kerjasama selanjutnya akan diikuti oleh perusahaan dalam negeri yang tergabung. Ini merupakan bentuk keberlanjutan kenijakan pemerintah agar sistem perdagangan terintegrasi dengan baik dan dapat bersaing di pasar internasional.

Hasil kesepakatan negara-negara yang menjalin kerjasama selanjutnya akan diikuti oleh perusahaan dalam negeri yang tergabung. Ini merupakan bentuk keberlanjutan kenijakan pemerintah agar sistem perdagangan terintegrasi dengan baik dan dapat bersaing di pasar internasional.

Semoga bermanfaat.

Rabu, 02 Mei 2018

Konsep Perlindungan Konsumen

Pengertian Pelaku Usaha

            Menurut Pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa “pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hokum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.


Pengertian Konsumen

            Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian tersebut secara harfiah diartikan sebagai ”orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu ” atau ”sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. Amerika Serikat mengemukakan pengertian ”konsumen” yang berasal dari consumer berarti ”pemakai”, namun dapat juga diartikan lebih luas lagi sebagai ”korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula oleh korban yang bukan pemakai


Azas Perlindungan Konsumen

            Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, asas perlindungan konsumen adalah diselenggarakan sebagai usahs bersama 5 (lima) asas yang relevan dalam pembagunan nasional, yaitu:
1.    Asas manfaat yaitu mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.    Keadilan yaitu agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.    Keseimbangan yaitu untuk memberikan keseimbangan antra kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
4.    Keamanan dan keselamatan konsumen yaitu untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.    Kepastian hukum yaitu agar pelaku usaha mampu konsumen menaati hokum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakn perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Dari kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:
1.    Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen.
2.    Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan.
3.    Asas kepastian hukum.


Tujuan Perlindungan Konsumen

      Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu:
1.    Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2.    Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang atau jasa.
3.    Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menunntut hak-haknya sebagai konsumen.
4.    Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hokum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5.    Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumsen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6.    Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.



Hak dan Kewajiban Konsumen

       Menurut Janus Sidabalok dalam bukunya "Hukum Perlingdungan Konsumen di Indonesia" menyebutkan ada tiga macam hak konsumen, meliputi :
a.    Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang diperoleh sejak lahir. Seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernafas. Hak tersebut tidak dapat diganggu gugat oleh negara bahkan negara wajib menjamin pemenuhannya.
b.    Hak ang lahir dari hukum, merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Hal tersebut disebut hak hukum.
c.    Hak yang lahir dari hubungan kontraktual. Hak tersebut berdasarkan pada perjanjian atau kontrak antara orang yang satu dengan orang yang lain. Contohnya : pada peristiwa jual beli. Hak seorang pembeli adalah menerima barang, sementara hak seorang penjual adalah menerima uang.
Adapun hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK, yakni :
a.    Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Tujuan konsumen dalam mengkonsumsi barang adalah untuk mendapatkan manfaat dari barang tersebut. Serta perolehan manfaat pada barang tidak mengancam keselamatan dan harus menjamin kenyamanan dan kemanan konsumen.
b.    Hak untuk memilih barang dan mendapatkan baang sesuai dengan nilai tukar serta maupun jaminan yag dijanjikan. Maka dari itu, konsumen haarus diberi kebebasan dalam memilih barang yang akan di konsumsi. Kebebasan dalam memilih barang menunjukkan tidak ada unsru paksaan.
c.    Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi serta jaminan barang. Tindakan sebelum konsumen memilih barang, tentunya telebih dahulu mendapatkan informasi yang jelas akan barang yang akan di konsumsi. Karena informasi tersebut menjadi landasan konsumen dalam memilih barang.
d.    Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang yang digunakan. Tidak jarang konsumen memperoleh kerugian dalam mengkonsumsi suatu barang. Hal tersebut menunjukkan  ada suatu kelemahan pada barang diproduksi atau disediakan oleh pelaku usaha.
e.    Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Pelaku usaha tentu sangat memahami mengenai barang. Sedangkan di sisi lain, konsumen sama sekali tidak memahami apa saja proses yang dilakukan oleh pelaku usaha guna menyediakan barang  yang dikonsumsi. Sehingga posisi konsumen lebih lemah dibanding pelaku usaha. Oleh karena itu diperlukan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa yang patut bagi konsumen.
f.     Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Pada umumnya posisi konsumen lebih lemah dibanding posisi pelaku usaha. Untuk itu pelaku usaha harus memberikan pembinaan dan pendidikan yang baik dan benar kepada konsumen. Pembinaan dan pendidikan tersebut mengenai bagaimana cara mengkonsumsi yang bermanfaat bagi konsumen, bukannya berupaya untuk mengeksploitasi konsumen.
g.    Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Sudah merupakan hak asasi manusia untuk diperlakukan sama. Pelaku usaha harus memberikan pelayanan yang sama kepada semua konsumennya, tanpa memandang perbedaan idiologi, agama, suku, kekayaan, maupun status sosial.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Inilah inti dari hukum perlindungan konsumen. tujuan dari pemberian kompensasi, ganti rugi, atau penggantian adalah untuk  mengembalikan keadaan konsumen ke keadaan semula, seolah-olah peristiwa yang merugikan konsumen itu tidak terjadi.
h.    Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Hak konsumen sebenarnya sangat banyak dan bisa terus bertambah. Adanya ketentuan ini membuka peluang bagi pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak konsumen yang tidak diatur pada ketentuan diatas.
Kewajiban-kewajiban konsumen yang diatur dalam Pasal 5 UU PK adalah:
a.    Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Tidak
bisa dipungkiri bahwa seringkali konsumen tidak memperoleh manfaat yang
maksimal, atau bahkan dirugikan dari mengkonsumsi suatu barang/jasa. Namun setelah diselidiki, kerugian tersebut terjadi karena konsumen tidak mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian yang telah disediakan oleh pelaku usaha.
b.    Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa Tak jarang pula konsumen tidak beritikad baik dalam bertransaksi atau mengkonsumsi barang. Hal ini tentu saja akan merugikan khalayak umum, dan secara tidak langsung konsumen telah merampas hak-hak orang lain.
c.    Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Ketentuan ini sudah jelas, ada uang, ada barang.
d.    Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, patut diartikan sebagai tidak berat sebelah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK sebagai berikut :
a.    Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b.    Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c.    Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d.    Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e.    Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban-kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK meliputi :
a.   beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.   memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.    memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.    menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.    memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.     memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.    memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.


Perbuatan yang dilarang Oleh Pelaku Usaha

Sesuai Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara khusus mengatur mengenai perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha,seperti larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan, larangan-larangan dalam penjualan secara obral/ lelang, dan dimanfaatkan dalam ketentuan periklanan.
1. Larangan dalam memproduksi/ memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
a) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
b) Tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto;
c) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d) Tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut;
e) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label;
f) Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal;
g) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto.
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.


Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Tanggung jawab pelaku usaha tercantum dalam Pasal 19 UUPK 8/1999, yaitu:
1.    Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.    Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.    Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah  tanggal transaksi.
4.    Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5.    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.


Diskusi:
1.    Rasita Risky A 160321100033
“Bagaimana yang dimaksud dengan romosi/ penawaran yang benar?”
Jawab: penawaran produk yang berbahaya dan mengandung unsur plagiasi.
2.    Qutsiati Utami 160321100028
“ Aapakah perlindungan konsumen juga berlaku bagi konsumen yang melakukan transaksi online?”
Jawab: Perlindungan konsumen juga berlaku untuk pasar online. Hal ini juga diatur dalam UU Nomor 8 Th 1999 ttg perlindungan konsumen dan Peraturan Pemerintah Nmr 82 th 2012 ttg penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.”
3.    Suci Angriva 160321100043
“ Apakah konsumen tidak mendapat perlindungan atas kerugian yang ditanggung dalam pengiriman barang dari produsen?”
Jawab: Kejadian yang demikian tidak termasuk dalam perlindungan konsumen. (Safira W 36) Termasuk perlindungan konsumen, sesuai pasal 4, bahwa pelaku usaha harus bertanggungjawab atas kegiatan usaha. (Ahmad Wildan F 57) konsumenberhak mendapat nilai tukar yang sama dengan transaksi. (Zainal H) Konsumen harus dilindungi sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.
4.    Rofif Insan S
“ Jelaskan lebih rinci atas perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha!”
Jawab:
1.    Larangan dalam memproduksi/ memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
a) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
b) Tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto;
c) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d) Tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut;
e) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label;
f) Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal;
g) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto.
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
5. Nurie Agustina A 160321100065
“ Bagaimana sanksi bagi pelaku usaha yang menjual produk kadaluarsa?”
Jawab: pasal 62 ayat 1, hukuman pidana maksimal 2 tahun dan denda.
6.    Syafafotul Q B 160321100053
“ Sanksi apa yang tepat bagi pelaku usaha yang menual produk tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan pada konsumen?”
Jawab: pengembalian barang yang tidak sesuai, baik dari produsen maupun ritel.
7.    Yusli 160321100017
“ Bagaimana tindakan atas pelelangan barang sitaan? Padahal telah diatur bahwa pelaku usaha dilarang untuk melakukan pelelangan.”

Jawab: yang dimaksud dalam pasal adalah mengobral produk yang dikatakan berkualitas, namun kenyataannya tidak emikian. (Vika Ayu) hal tersebut tidak termasuk dalam kegiatan usaha.



Daftar Pustaka

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Az. Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta.
Janus Sidabalok. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 3
Janus Sidabalok. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Cetakan ke-1. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
Lastini. 2016. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lex Privatum, Vol. IV/No. 6.

Munir Fuady. 2008. Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Global. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: P.T.Raja Grafindo
Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Rajawali. Jakarta, h. 54. 

Selasa, 01 Mei 2018

PAJAK DAN HUKUM PERPAJAKAN DALAM BISNIS


2.1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak

2.1.1. Pengertian Pajak

Pajak adalah peralihan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjukkan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara. Pajak menurut Kansil (1986) adalah iuran kepada negara yang terutang oleh yang wajib membayarnya (wajib pajak) berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali yang langsung. Dengan demikian pajak merupakan utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada masyarakat.
Sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemungutan pajak di Indonesia harus berdasarkan Undang-Undang dan tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang. Dasar pemungutan pajak sesuai Pasal 23A Amandemen Ketiga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Dalam melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut, sudah sepantasnya apabila masyarakat dan aparat perpajakan mengerti peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga masyarakat Wajib Pajak mengerti dan sadar serta patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya, aparat pajak mampu membina, meneliti dan mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2.1.2. Fungsi Pajak

2.1.2.1. Fungsi Budgeter
Pajak yang dipungut oleh pemerintah kepada rakyat dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang setiap tahunnya yang tergambar melalui Anggaran Pendapatan dan belajar Negara (APBN). Dengan demikian, pajak ini merupakan sumber pendapatan negara di samping sumber lainnya. Seperti hasil penjualan bahan bakar minyak dan gas alam.
2.1.2.2. Fungsi Mengatur
Fungsi mengatur ini dapat diartikan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan, dengan demikian pajak sebagai alat mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi. Contoh: Pajak yang dikenalkan terhadap minuman keras dapat menghambat atau mencegah setidak-tidaknya mengurangi konsumi minuman keras.

2.2. Subjek dan Objek Berbagai Macam Pajak

2.2.1. Subjek Pajak

Undang-undang pajak penghasilan No. 17 tahun 2000 menerangkan tentang subjek pajak, yaitu:
a)  Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
b)  Badan atau Lembaga; dan
c)  Bentuk usaha tetap.
Sedangkan subjek pajak dalam negeri terdiri atas berikut:
a) Subjek pajak dalam negeri; dan
b) Subjek pajak luar negeri.
Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh di indonesia. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum. Wajib pajak dalam negeri menyampaikan surat pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Pihak-pihak yang tidak termasuk subjek pajak menurut pasal 3 UU pajak penghasilan adalah:
a)    Badan perwakilan negara asing
b)    Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik
c)    Organisasi internasional
d)    Pejabat-pejabat perwakilan organisai

2.2.2. Objek Pajak

Penghasilan yang merupakan objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh wajib pajak, baik yang berasalah dari indonesia maupun dari luar indonesia, yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan wajib dan dalam  bentuk apapun. Objek pajak penghasilan adalah penghasilan itu sendiri yang berarti bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Macam-macam objek pajak:
a)  Objek Pajak Penghasilan
b)  Objek Pajak Pertambahan Nilai
c)  Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah
d)  Objek Pajak Bumi dan Bangunan
e) Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. (Pasal 1 huruf 1 UU No. 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas undang-undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). Hal-hal yang menjadi objek pajak dalam hal ini adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang meliputi :
1) Pemindahan hak karena: Jual Beli; Tukar-Menukar, Hibah, Hibah Wasiat, Waris, Penggabungan usaha;  Peleburan usaha; Pemekaran usaha; Hadiah.
2. Pemberian hak baru karena Kelanjutan pelepasan hak; dan dii luar pelepasan hak.
f)  Objek Bea Meterai

2.3. Kaitan Pajak dengan Bisnis

Pemerintah membutuhkan pemasukan dari sektor pajak untuk membiayai berbagai keperluan negara. Untuk itu pemerintah membutuhkan sistem peraturan pajak yang menjamin terpenuhinya penerimaan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah. Ditinjau dari sisi ekonomi mikro, pajak akan menjadi beban bagi para pelaku bisnis. Pajak akan berdampak pada berkurangnya keuntungan perusahaan. Oleh karena itu pajak akan menjadi hal yang sebisa mungkin dihindari dengan cara-cara yang legal. Bahkan tidak jarang para pelaku bisnis / wajib pajak melakukan penggelapan pajak dengan cara yang melanggar aturan (ilegal).
Pengusaha akan menjadikan pajak sebagai realitas bisnis yang tidak bisa dihindari. Setiap transaksi yang melibatkan uang, barang atau jasa selalu harus dikaji aspek perpajakannya. Dalam prakteknya tidak jarang pajak menjadi beban yang sangat signifikan dalam bisnis. Hal ini disebabkan adanya berbagai macam sanksi perpajakan baik berupa bunga, denda, maupun kenaikan. Ditambah jika  pajak-pajak yang tidak terbayar tersebut telah terakumulasi untuk beberapa tahun sekaligus.
Proses penetapan pajak tersebut biasanya melalui pemeriksaan pajak yang hasilnya berupa surat ketetapan pajak. Secara umum, pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dijalankan oleh wajib pajak. Bagi masyarakat bisnis, pemeriksaan pajak merupakan ajang pembuktian bahwa wajib pajak telah melakukan kewajiban pajaknya dengan baik & benar. Jadi secara mikro, pajak berpengaruh langsung kepada besarnya laba/rugi yang diperoleh wajib pajak karena setiap aliran uang, barang maupun jasa.
Peranan pajak dalam APBN semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pembiayaan oleh pemerintah juga disebabkan oleh tingginya beban utang luar negri yang harus dicicil oleh pemerintah. Peningkatan tersebut tentu akan membebani perekonomian negara baik langsung maupun tidak langsung. Bila beban bertambah maka investasi juga akan terhambat pertumbuhannya. Para investor akan bertimbang dalam melakukan investasinya di Indonesia dan akan memperparah tingginya pengangguran di Indonesia.
Masyarakat bisnis tentu sadar bahwa beban penerimaan pajak yang tinggi tersebut menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Dimana ada bisnis pasti ada pajak. Akan tetapi mereka pasti berharap Ditjen Pajak tidak membabi buta & mengeluarkan kebijakan yang merugikan kalangan bisnis.



Hasil Diskusi
1.    Berapa besar biaya pajak PPh?
Jawab: besarnya PPh disesuaikan dengan regionalnya. Pada daerah yang memiiki UMR rendah, mka PPh yang dibebankanpun rendah pula. Selain itu, kebijakan ini mengacu pla pada skala usahanya.
2.    Berapa persen penghasilan dari pajak untuk negara?
Jawab: kriteria nominal pajak telah tertera pada setiap akta pembayaran PBB, nilainya kurang dari 5%.
3.    Mengapa warisan termasuk sebagai subjek pajak?
Jawab: karena warisan di sisni tergolong dalam kategori harta tidak berjalan, sehingga sebenarnya keberadaannya memiliki nilai ekonomis, meskipun didapakan dari peralihan waris. Sedangkan pada dasarnya warisan berupa harta tidak berjalan dikenakan pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku, misalnya adalah tanah.
4.    Apakah pajak telah berkontribusi dengan baik di negara?
Jawab: Benar, pajak berkontribusi baik terhadap negara. Pembangunan di berbagai sektor, mulai dari pemerataan kesejahteraan, pembangunan desa, pendidikan, dan lain sebagainya merupakan bentuk dari manifestasi pengelolaan pajak yang selanjutnya disebut dengan pendapatan negara.
5.    Apakah tujuan pajak?
Jawab: untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara


Pengertian Tax Amnesty

Tax amnesty atau amnesti pajak adalah pengampunan atau pengurangan pajak terhadap properti yang dimiliki oleh perusahaan yang akan segera diatur dalam UU Pengampunan Nasional. Hal-hal yang berkaitan dengan draft UU tersebut dikatakan jika pengampunan pajak adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana pada bidang perpajakan, maupun sanksi pidana tertentu yang diharuskan membayar dengan uang tebusan. Pengampunan pajak ini objeknya bukan hanya yang disimpan di luar negeri, tetapi juga yang berasal dari dalam negeri yang laporannya tidak diberikan secara benar.
Kebijakan Tax Amnesty
Pada tax amnesty ini terdapat beberapa kebijakan pengampunan atau amnesti yang berbeda yang dibagi dalam 3 periode. Pada periode pertama jika periode pelaporan Oktober sampai dengan Desember 2015 maka tarif yang dikenakan dari keseluruhan harta wajib adalah sebesar 3%. Jika periode pajak yang dilaporkan bulan Januari-Juni 2016 maka tarif yang dikenakan sebanyak 5% dan untuk periode Juli-Desember 2016 akan dikenakan pajak sebesar 8%.
Dengan adanya tax amnesty atau amnesti pajak ini dapat memberikan manfaat untuk beberapa pihak, baik itu untuk pemerintah, pengembang, maupun untuk investor. Berikut ini manfaat adanya tax amnesty untuk beberapa pihak:
  1. Untuk pemerintah
Dengan diberlakukannya tax amnesty atau pengampunan pajak ini maka akan menambah penghasilan penerimaan baru dimana penambahannya dirasa cukup efektif dalam mengurangi penerimaan negara yang semakin berkurang. Dengan diterapkannya tax amnesty atau pengampunan pajak ini maka secara otomatis akan menarik dana yang terdapat di luar negeri ke Indonesia yang menjadikannya masuk ke dalam pencatatan untuk sumber pajak baru. Amnesti pajak yang diasumsikan oleh pemerintah sebanyak Rp.60 triliun yang tercantum pada APBN 2016. Nominal tersebut berasal dari tarif tebusan sebesar 3% dari dana yang masuk yaitu sekitar Rp.2.000 triliun.
  1. Untuk pengembang
Dengan diberlakukannya amnesti pajak atau pengampunan pajak ini maka akan membuat sektor properti mengalami pertumbuhan untuk tahun berikutnya. Kebijakan ini berhubungan dengan pajak yang menjadikan indikator untuk kebangkitan sebuah bisnis properti yang ada di Indonesia. Tax amnesty ini sangat dipercaya untuk memberikan sebuah pengaruh terhadap pengembang untuk dapat terus berhubungan dengan para investor. Para investor selama ini merasa tidak mau untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena negara Indonesia mempunyai pajak properti yang tergolong sangat tinggi.
  1. Untuk investor
Bukan hanya dari pemerintah dan pengembang saja yang merasa senang dengan kabar ini, hadirnya tax amnesty atau pengampunan pajak ini juga sangat disambut baik oleh para investor. Dengan adanya tax amnesty atau pengampunan pajak ini akan memberikan keuntungan terhadap kegiatan bisnis. Amnesti pajak ini dapat membuat para konsumen serta investor untuk lebih berani lagi melakukan pembelian terhadap properti. Dengan demikian, para investor tidak merasa lagi takut untuk melakukan pembelian properti.
Referensi Penulis:

Nurfauziah, Alien,dkk. 2016. Aspek Pajak dalam Bisnis. (Online) terdapat pada                 laman http://atieqfauziati.blogspot.co.id/2016/04/makalah-aspek-pajak-dalam-bisnis.html diakses pada 25 April 2018 pukul 21.30 WIB.
Utara, Agus Satrija. 2011. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Pusat Pendidikan     dan Pelatihan Pajak. Terdapat pada laman https://klc.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2016/07/07.-MODUL-PHP-FINAL-19-08-2011-2.pdf diakses pada 25 April 2018 pukul 21.36 WIB.


Sekian, semoga bermanfaat.